Islam menjelaskan makna hidup yang hakiki melalui perbandingan dua ayat yang sangat kontras, seperti dicontohkan di dalam Alquran. Seorang yang telah mati menurut mata lahir kita, bahkan telah terkubur ribuan tahun, jasadnya telah habis dimakan cacing dan belatung lalu kembali menjadi tanah, namanya sudah hampir dilupakan orang. Tetapi yang mengherankan, Allah SWT memandangnya masih hidup dan mendapat rezeki di sisi-Nya serta melarang kepada kita menyebut mati kepada orang tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam (Q.S 3: 169). "Janganlah kalian menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan mereka itu hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah." Sebaliknya ada orang yang masih hidup menurut mata lahir kita, masih segar-bugar, masih bernapas, jantungnya masih berdetak, darahnya masih mengalir, matanya masih berkedip, tetapi justru Allah menganggapnya tidak ada dan telah mati, seperti disebutkan dalam firmannya "Tidak sama orang yang hidup dengan orang yang sudah mati. Sesungguhnya Allah SWT mendengar orang yang dikehendaki-Nya, sedangkan kamu tidak bisa menjadikan orang-orang yang di dalam kubur bisa mendengar," (QS Al-Fathir 22). Maksud ayat ini menjelaskan Nabi Muhammad tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dua ayat ini memberikan perbandingan yang terbalik, di satu sisi orang yang telah mati dianggap masih hidup, dan di sisi lain orang yang masih hidup dianggap telah mati. Lalu apa hakikat makna hidup menurut Islam?
Seorang filusuf Yunani Descartes pernah mendefinisikan, manusia ada dan dinyatakan hidup di dunia bila ia melakukan aktivitas berpikir. Kemudian Karl Marx menyatakan, manusia ada dan dinyatakan hidup jika manusia mampu berusaha untuk mengendalikan alam dalam rangka mempertahankan hidupnya. Sedangkan Islam menjelaskan manusia ada dan dianggap hidup jika ia telah melakukan aktivitas "jihad" seperti yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. Ali Imron: 169 di atas. Tentu saja jihad dalam pengertian yang sangat luas. Jihad dalam pengertian bukan hanya sebatas mengangkat senjata dalam peperangan saja, tetapi jihad dalam konteks berusaha mengisi hidup dengan karya dan kerja nyata. Jihad dalam arti berusaha memaksimalkan potensi diri agar hidup ini berarti dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Misalnya, seseorang yang berusaha mencari dan menemukan energi alternatif ketika orang sedang kesulitan BBM itu juga sudah dipandang jihad karena ia telah mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Seseorang yang keluar dari sifat malas, kemudian bekerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, itu juga termasuk jihad karena ia telah mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri, dan bukankah ini jihad yang paling besar karena Rasulullah sendiri menyatakan bahwa jihad yang paling akbar adalah melawan hawa nafsu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar